Kisah Ashabul Kahfi
Ashabul Kahfi adalah kisah tujuh pemuda yang tertidur di dalam gua selama 309 tahun. Di mana mereka bersembunyi di dalam gua untuk melarikan diri dari kekejaman Raja Decyanus untuk mempertahankan keimanannya. Kisah pemuda tersebut tertera dalam Al Quran surat Al Kahfi ayat 9-26.
Kisah Ashabul Kahfi
Sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya
beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: “Hai Khalifah
Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu
Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda
dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam
merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya,
jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan
Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian
inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok)
mengancing langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
“Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan
yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu?
Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!
Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang
dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan
dari kandungan ibu atau atau induknya!
Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung
puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau!
Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia
sedang berkokok!
Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang
meringkik?
Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang
bersuara?
Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang
meringkik?
Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia
sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir
sejenak, kemudian berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas
pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu
hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu,
pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil
berkata: “Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama
Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit
dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib.
Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi
oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke
rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup
punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin
Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya,
sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu
kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang
sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan kalian
bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah
mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai
seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan
mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin mengajukan
suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab
pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian
supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin
Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu
langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah
syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia
bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat
Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah
yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah
kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul
Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara
mereka, sambil berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut:
“Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan
bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi
Yunus putera Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling
ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi:
“Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada
bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut
Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada
kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak
diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya:
“Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas
permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang
dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah,
pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi
Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah
mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a.
lalu mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil
berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi
oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama
Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam
Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang
pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh
Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi,
mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan
oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah
mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak
mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba
sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja
mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah
mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya,
menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke
pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w.
kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri
Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus.
Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah
Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak
di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja
yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh
seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak
dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan
akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota
kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu
berdiri, terus bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku
bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi,
raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar.
Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.
Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap
malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah
timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula
di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam
selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas.
Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah
kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk.
Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk
para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas
singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi
sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari
apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan,
“mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap
kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang
menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari
anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna
merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias
dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat
dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri
dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau
pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding
lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri
raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri
di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata:
“Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang
menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang
berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan
Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding
dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana
dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian
murni.
Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari
bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa
burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas
piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan
setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu
habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara
isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi
wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan
sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis
dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara
lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil
membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana
kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit
apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur,
berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan
sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai
“tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari
rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan
berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua
orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi
memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang
duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah
seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke
dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap
raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota
yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas
singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang
cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh
fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu
benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih,
tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat
Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu
mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran.
Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya.
Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha
sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha,
mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang
dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum,
juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan
hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha
menjelaskan.”
Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang
mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa
gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?
Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit
itu?
Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian
kupikirkan juga bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di
cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa
agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali
memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari
perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku?
Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman
Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil
berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada
di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi
kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak menemukan akal
selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta
langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan
akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan
dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima
orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya:
“Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan
kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh,
sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh
itu.
Tiba-tiba
datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka
bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu. “Tetapi
kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu
pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan
kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu agama, kami
tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?”
“Ya,”
jawab penggembala itu.
Tamlikha
dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka.
Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka,
dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa
sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di
sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku
akan segera kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya.”
Waktu
cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri
lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan
apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai
saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, “kekasihku Muhammad
Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna
kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling
berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan
membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu
dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua
kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas
sekali: ”Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini
bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku
menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku
kepada Allah s.w.t.” Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka
mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya
sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
...........
Komentar
Posting Komentar